TUGAS
MAKALAH
KEBUTUHAN
DASAR MANUSIA 1
RENCANA
TINDAKAN UNTUK MENGATASI MASALAH KEPERAWATAN INKONTINENSIA STRES
Oleh:
Abror Thoriqi (P27820112094)
Annisaus Suroyah (P27820112098)
Arizal Prakoso (P27820112104)
Diah Permatasari (P27820112095)
Edo Andrianta (P27820112017)
Politeknik Kesehatan Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia
Prodi DIII Keperawatan Kampus
Soetomo
Surabaya
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Inkontinensia
urine adalah ketidakmampuan menahan air kencing. Gangguan ini lebih sering
terjadi pada wanita yang pernah melahirkan daripada yang belum pernah
melahirkan (nulipara). Diduga disebabkan oleh perubahan otot dan fasia di dasar
panggul. Kebanyakan penderita inkontinensia telah menderita desensus dinding
depan vagina disertai sisto-uretrokel. Tetapi kadang-kadang dijumpai penderita
dengan prolapsus total uterus dan vagina dengan kontinensia urine yang baik.
Pada wanita
umumnya inkontinensia merupakan inkontinensia stres, artinya keluarnya urine
semata-mata karena batuk, bersin dan segala gerakan lain dan jarang ditemukan
adanya inkontinensia desakan, dimana didapatkan keinginan miksi mendadak.
Keinginan ini demikian mendesaknya sehingga sebelum mencapai kamar kecil
penderita telah membasahkan celananya. Jenis inkontinensia ini dikenal karena
gangguan neuropatik pada kandung kemih. Sistitis yang sering kambuh, juga
kelainan anatomik yang dianggap sebagai penyebab inkontinensia stres, dapat
menyebabkan inkontinensia desakan. Sering didapati inkontinensia stres dan
desakan secara bersamaan.
Tujuan
penyajian makalah ini adalah untuk mengetahui
lebih lanjut mengenai inkontinensia urine, jenis-jenis lebih
khususnya inkontinensia stres. Pemahaman
yang lebih baik akan membantu usaha mengatasi inkontinensia stres.
1.2 Rumusan Masalah
Apa yang dimaksut dengan
inkontinensia urine ?
Apa saja jenis – jenis inkontinensia
?
Apa yang dimaksut dengan
inkontinensia stres?
Bagaimana rencana asuan keperawatan
pada pasien / klien inkontinensia stres?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Menjelaskan
Asuhan Keperawatan pasien dengan inkontnensia urin.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk memahami pengertian dari
inkontinesia urine.
2. Untuk mengetahui jenis-jenis dari inkontinensia urin.
3. Untuk mengetahui pengertian inkontinensia stres.
4. Untuk mengetahui bagaimana inkontinensia urin.
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Pembaca
Agar pembaca dapat menambah
pengetahuan tentang inkontinensia urin khususnya inkontinensia stres.
1.4.2 Bagi Penulis
Mampu memahami tentang
bagaimana rencana asuhan keperawatan pada pasien
inkontinensia stres.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Inkontinensia
Urine (IU) atau yang lebih dikenal dengan beser sebagai bahasa awam merupakan
salah satu keluhan utama pada penderita lanjut usia. Inkontinensia urine adalah
pengeluaran urin tanpa disadari dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga
mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan social, gangguan
kesehatan dan atau social higine dan ekonomi. Variasi dari inkontinensia urin meliputi keluar hanya beberapa tetes urin
saja, sampai benar-benar banyak, bahkan terkadang juga disertai inkontinensia
alvi (disertai pengeluaran feses) (brunner, 2011).
Inkontinensia didefinisikan sebagai berkemih ( defekasi ) di luar kesadaran,
pada waktu dan tempat yang tidak tepat, dan menyebabkan masalah kebersihan atau
social ( Watson, 1991 ).
2.2 Jenis-jenis
A. Inkontinensia stres
(Stres Inkontinence)
Inkontinensia stres biasanya
disebabkan oleh lemahnya mekanisme penutup. Keluhan khas yaitu mengeluarkan
urine sewaktu batuk, bersin, menaiki tangga atau melakukan gerakan mendadak,
berdiri sesudah berbaring atau duduk. Merupakan keadaan
sesorang yang mengalami kehilangan urine kurang dari 50 ml, terjadi dengan
peningkatan tekanan abdomen.
Gerakan semacam itu dapat
meningkatkan tekanan dalam abdomen dan karena itu juga di dalam kandung kemih.
Otot uretra tidak dapat melawan tekanan ini dan keluarlah urine. Kebanyakan
keluhan ini progresif perlahan-lahan; kadang terjadi sesudah melahirkan.
Akibatnya penderita harus sering menganti pakaian dalam dan bila perlu juga
pembalut wanita. Frekuensi berganti pakaian, dan juga jumlah pembalut wanita
yang diperlukan setiap hari, merupakan ukuran kegawatan keluhan inkontinensia
ini.
Biasanya dalam pemeriksaan badan
tidak dijumpai kelainan pada ginjal dan kandung kemih. Pada pemeriksaan vulva
ternyata bahwa sewaktu mengejan dapat dilihat dinding depan vagina. Informasi
yang penting bisa diperoleh dengan percobaan Marshall-Marchetti.
Penderita diminta untuk berkemih di WC sampai habis. Dalam posisi ginekologis
dimasukan kateter ke dalam kandung kemih. Ditentukan jumlah urine yang tersisa.
Kemudian diikuti oleh pengisian kandung kemih dengan air sampai penderita
merasa ingin berkemih. Dengan demikian ditentukan kapasitas kandung kemih.
Normalnya seharusnya 400-450 ml. Kemudian dicoba menirukan stres yang
mengakibatkan pengeluaran urine dengan meminta penderita batuk. Jika pada
posisi berbaring tidak terjadi pengeluaran urine, maka percobaan diulang pada
posisi berdiri dengan tungkai dijauhkan satu sama lain.
Pada inkontinensia stres sejati,
harus terjadi pengeluaran urine pada saat ini. Kemudian dicoba dengan korentang
atau dengan dua jari menekan dinding depan vagina kanan dan kiri sedemikian
rupa ke arah kranial sehingga sisto-uretrokel hilang. Penderita diminta batuk
lagi. Bila sekarang pengeluaran urine terhenti maka ini menunjukkan penderita
akan dapat disembuhkan dengan operasi kelainan yang dideritanya.
Diagnosis dengan pengobatan
inkontinensia pada wanita merupakan masalah interdisipliner antara urologi dan
ginekologi. Di sini pengambilan keputusan yang tepat setidak-tidaknya sama
penting seperti mutu pengobatan. Sering terdapat kelainan ginekologis yang juga
harus diobati. Kebanyakan diagnostik yang tepat ditegakkan dari kerjasama yang
baik antara urolog dan ginekolog. Pada inkontinensia stres yang
ringan, misalnya yang menghabiskan 3-4 pembalut sehari, penderita bisa
memperoleh perbaikan dengan fisioterapi dan senam untuk otot-otot dasar
panggul. Pada prinsipnya pengobatan inkontinensia stres bersifat operatif.
Dikenal berbagai teknik bedah yang semuanya dapat memberikan perbaikan 80-90
kasus. Semua bentuk operasi ini berlandaskan pada prinsip yang sama yaitu
menarik dinding vagina ke arah ventral untuk menghilangkan sistokel dan
mengembalikan sudut vesiko-uretral menjadi 1200 seperti semula. Ini
dapat terlaksana dengan menjahitkan dinding vagina pada periosteum tulang pubis
(teknik Marshall-Marchetti); dengan mengikatkan dinding vagina lebih
lateral pada lig. Pouparti (teknik Burch) atau dengan bedah ‘sling’,
menarik uretra ke atas memakai selembar fasia atau bahan yang tidak dapat
diresorpsi serta diikatkan pada fasia abdominalis.Biasanya keluhan stres dan
desakan bercampur aduk. Dalam keadaan seperti ini, sangat penting diagnostik
yang cermat yang juga meliputi sistometri dan pengukuran aliran. Apabila
inkontinensia desakan dengan atau tanpa pembentukan sisa urine diobati dengan
salah satu bedah plastik suspensi di atas, maka pola keluhan semula dapat lebih
mengikat.
Komplikasi terapi bedah
inkontinensia stres terutama terdiri dari pembentukan sisa urine segera dalam
fase pascabedah. Biasanya masalah ini bersifat sementara dan dapat diatasi
dengan kateterisasi intermiten, dengan karakter yang ditinggalkan atau lebih
baik dengan drainase kandung kemih suprapubik. Hal ini memungkinkan pencarian
pembentukan sisa urine tanpa kateterisasi. Komplikasi lain biasanya berasal
dari indikasi yang salah. Perforasi kandung kemih dengan kebocoran urine,
infeksi saluran kemih yang berkepanjangan dan osteitis pubis pada operasi Marshall-Marchetti-Krantz
merupakan komplikasi yang jarang terjadi.
B. Inkontinensia
desakan (Urgency Inkontinence)
Inkontinensia desakan adalah
keluarnya urine secara involunter dihubungkandengan keinginan yang kuat untuk
mengosongkannya (urgensi). Merupakan keadaan di mana
seseorang mengalami pengeluaran urine tanpa sadar, terjadi segera setelah
merasa dorongan yang kuat untuk berkemih. Biasanya
terjadi akibat kandung kemih tak stabil. Sewaktu pengisian, otot detusor
berkontraksi tanpa sadar secara spontan maupun karena dirangsang (misalnya
batuk). Kandung kemih dengan keadaan semacam ini disebut kandung kemih tak
stabil. Biasanya kontraksinya disertai dengan rasa ingin miksi. Gejala gangguan
ini yaitu urgensi, frekuensi, nokturia dan nokturnal enuresis.
C. inkontinensia
total
Pengertian Ialah keadaan dimana
individu mengalami kehilangan urine terus menerus yang tidak dapat
diperkirakan. Merupakan keadaan di mana seseorang mengalami
pengeluaran urine yang terus-menerus dan tidak dapat diperkirakan.Faktor
Penyebab : Penurunan Kapasitas kandung kemih,Penurunan isyarat kandung kemih,Efek
pembedahan spinkter kandung kemih,Penurunan tonus kandung kemih,Kelemahan otot
dasar panggul,Penurunan perhatian pada isyarat kandung kemih
D. inkontinensia fungsional
Inkontinensia urin fungsional adalah
kebocoran urin
karena kesulitan mencapai toilet secara tepat waktu karena kondisi fisik
seperti artritis. Merupakan keadaan seseorang yang
mengalami pengeluaran urine secara tanpa disadari dan tidak dapat diperkirakan.
E. inkontinensia reflaks
Merupakan
keadaan di mana seseorang mengalami pengeluaran urine yang tidak dirasakan,
terjadi pada interval yang dapat diperkirakan bila volume kandung kemih
mencapai jumlah tertentu.
2.3
Etiologi
Seiring dengan bertambahnya usia,
ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain:
melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan
yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan
air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung
kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan
rasa ingin berkemih. Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait
dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin
meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet. Gangguan saluran
kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi saluran kemih,
maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila vaginitis atau uretritis
atrofi penyebabnya, maka dilakukan tertapi estrogen topical. Terapi perilaku
harus dilakukan jika pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, bila terjadi
impaksi feses, maka harus dihilangkan misalnya dengan makanan kaya serat,
mobilitas, asupan cairan yang adekuat, atau jika perlu penggunaan laksatif.
Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena
berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang
harus terus dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa
diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein.
Gagal jantung kongestif juga bisa
menjadi faktor penyebab produksi urin meningkat dan harus dilakukan terapi
medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik,
trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan
ke toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet. Apabila
penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus disingkirkan dengan
terapi non farmakologik atau farmakologik yang tepat. Pasien lansia, kerap
mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit yang dideritanya.
Inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot dasar panggul, karena
kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut,
kurang aktivitas dan operasi vagina. Penambahan berat dan tekanan selama
kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama
sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul
rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir,
sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan
menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke
atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih
(uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko
yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya
juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar
kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur
kandung kemih dan otot dasar panggul.
2.4
Patofisiologi
Inkontinensia urine bisa disebabkan
oleh karena komplikasi dari penyakit infeksi saluran kemih, kehilangan kontrol
spinkter atau terjadinya perubahan tekanan abdomen secara tiba-tiba.
Inkontinensia bisa bersifat permanen misalnya pada spinal cord trauma atau
bersifat temporer pada wanita hamil dengan struktur dasar panggul yang lemah
dapat berakibat terjadinya inkontinensia urine. Meskipun inkontinensia urine
dapat terjadi pada pasien dari berbagai usia, kehilangan kontrol urinari
merupakan masalah bagi lanjut usia.
2.5
Manifestasi Klinis
1.
Inkontinensia stres: keluarnya urin selama batuk,
mengedan, dan sebagainya. Gejala-gejala ini sangat spesifik untuk inkontinensia
stres.
2.
Inkontinensia urgensi: ketidakmampuan menahan
keluarnya urin dengan gambaran seringnya terburu-buru untuk berkemih.
3.
Enuresis nokturnal: 10% anak usia 5 tahun dan 5% anak
usia 10 tahun mengompol selama tidur. Mengompol pada anak yang lebih tua
merupakan sesuatu yang abnormal dan menunjukkan adanya kandung kemih yang tidak
stabil.
4.
Gejala infeksi urine (frekuensi, disuria, nokturia),
obstruksi (pancara lemah, menetes), trauma (termasuk pembedahan, misalnya
reseksi abdominoperineal), fistula (menetes terus-menerus), penyakit neurologis
(disfungsi seksual atau usus besar) atau penyakit sistemik (misalnya diabetes)
dapat menunjukkan penyakit yang mendasari.
2.6
Penatalaksanaan
Latihan otot-otot dasar
panggul Latihan penyesuaian berkemih Obat-obatan untuk merelaksasi kandung
kemih dan estrogen Tindakan pembedahan memperkuat muara kandung kemih
1.
Inkontinensia urgensi
a.
Latihan mengenal sensasi berkemih dan penyesuaiany
b.
Obat-obatan untuk merelaksasi kandung kemih dan
estrogen
c.
Tindakan pembedahan untuk mengambil sumbatan dan
lain-lain keadaan patologik yang menyebabkan iritasi pada saluran kemih bagian
bawah.
d.
Kateterisasi, bila mungkin secara intermiten,
dan kalau tidak mungkin secara menetap.
e.
Tindakan pembedahan untuk mengangkat penyebab
sumbatan
2.
Inkontensia overflow
a.
Kateterisasi, bila mungkin secara intermiten, dan
kalau tidak mungkin secara menetap
b.
Tindakan pembedahan untuk mengangkat penyebab
sumbatan
3.
Inkontinensia tipe fungsional
a.
Penyesuaian sikap berkemih antara lain dengan jadwal
dan kebiasaan berkemih
b.
Pekaian dalam dan kain penyerap khusus lainnya
c.
Penyesuaian/modifikasi lingkungan tempat berkemih
d.
Kalau perlu digaunakan obat-obatan yang merelaksasi
kandung kemih
BAB 3
DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1.
Dx : Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan
obstruksi mekanik pada kandung kemih ataupun struktur traktus urinarius lain.
Tujuan : berkurangnya frekuensi
kemih
Kriteria
Hasil:
Pola
eliminasi membaik, tidak terjadi tanda-tanda gangguan berkemih (urgensi,
oliguri, disuria)
Intervensi:
a. Awasi
pemasukan dan pengeluaran karakteristi urin
b. Tentukan
pola berkemih pasien
c. Dorong
meningkatkan pemasukan cairan
d. Kaji
keluhan kandung kemih penuh
e. Observasi
perubahan status mental:, perilaku atau tingkat kesadaran
f. Kecuali
dikontraindikasikan: ubah posisi pasien setiap dua jam
g.
Kolaborasi:
1. Awasi
pemeriksaan laboratorium; elektrolit, BUN, kreatinin
2. Lakukan
tindakan untuk memelihara asam urin: tingkatkan masukan sari buah berri dan
berikan obat-obat untuk meningkatkan aam urin.
2. Dx :
perubahan pola eliminasi urin yang berhubungan dengan kelemahan otot pelvis
Tujuan :
- Klien akan bisa melaporkan suatu pengurangan / penghilangan inkonteninsi
- Klien dapat menjelaskan penyebab inkonteninsia dan rasional penatalaksanaan.
Kriteria hasil :
1.
Pasien dapat menahan miksi sampai toilet
2.
Pasien menerangkan telah mampu melakukan
miksi pada lingkungan toilet tersebut
3.
Pasien menerangkan bahwa pencahayaan
sudah baik
4.
Pasien mengatakna telah nyaman dengan
tepat tidurnya
Intervensi :
- Kaji kebiasaan pola berkemih dan dan gunakan catatan berkemih sehari,
- Pertahankan catatan harian untuk mengkaji efektifitas program yang direncanakan.
- Obserpasi meatus perkemihan untuk memeriksa kebocoran saat kandung kemih
- Intruksikan klien batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada kebocoran, ulangi dengan posisi klien membentuk sudut 45, lanjutkan dengan klien berdiri jika tidak ada kebocoranyang lebih dulu.
- Pantau masukan dan pengeluaran, pastikan klien mendapat masukan cairan 2000 ml, kecuali harus dibatasi.
- Ajarkan klien untuk mengidentifikasi otot dinding pelvis dan kekuatannya dengan latihan
- Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan tentukan kemungkinan perubahan obat, dosis / jadwal pemberian obat untuk menurunkan frekuensi inkonteninsia.
- Dx: Perubahan pola eliminasi urin berhubungan dengan kehilangan fungsi neurologi/tonus otot.
Tujuan :
Setelah
diberikan asuhan keperawatan, diharapkan pola eliminasi urin terpenuhi
Kriteria hasil :
Mampu menciptakan pola eliminasi urine
yang adekuat/sesuai
Intervensi :
Mandiri
- Kaji pola sebelumnya dan bandingkan dengan pola yang sekarang
- Buat program latihan kandung kemih. Tingkatkan partisipasi pasien sesuai tingkat kemampuannya.
- Anjurkan untuk minum adekuat selama siang hari (paling sedikit 2 liter sesuai toleransi). Batasi minum saat menjelang malam dan waktu tidur.
- Pantau penampilan atau warna urine.
BAB
4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Inkontinensia Urine (IU) atau yang lebih dikenal dengan beser sebagai
bahasa awam merupakan salah satu keluhan utama pada penderita lanjut usia.
Inkontinensia urine adalah pengeluaran urin tanpa disadari dalam jumlah dan
frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan
social, gangguan
kesehatan dan atau social higine dan ekonomi.
Jenis – jenis inkontinensia urine :
- Inkontinensia stres (Stres Inkontinence)
Inkontinensia
stres biasanya disebabkan oleh lemahnya mekanisme penutup. Keluhan khas yaitu
mengeluarkan urine sewaktu batuk, bersin, menaiki tangga atau melakukan gerakan
mendadak, berdiri sesudah berbaring atau duduk. Merupakan
keadaan sesorang yang mengalami kehilangan urine kurang dari 50 ml, terjadi
dengan peningkatan tekanan abdomen.
- Inkontinensia desakan (Urgency Inkontinence)
- Inkontinensia fungsional
- Inkontinensia total
- Inkontinensia reflek
DAFTAR
PUSTAKA
http://learntogether-aries.blogspot.com/2011/09/blog-post.htmlhttp://nisiskalam.wordpress.com/2012/06/15/laporan-hasil-diskusi-studi-kasus-pasien-dengan-inkontinensia-urin-beser/
Doengoes, Marilynn E, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan pasien, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, 2000
Carpenito, Lynda Juall, Buku Saku Diagnosis Keperawatan, Jakarta, EGC. 2006
http;/medicastore.com/penyakit/602/inkontinensia_Uri.html
Doengoes, Marilynn E, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan pasien, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, 2000
Carpenito, Lynda Juall, Buku Saku Diagnosis Keperawatan, Jakarta, EGC. 2006
http;/medicastore.com/penyakit/602/inkontinensia_Uri.html
http:/www.majalah-farmacia.com/rubric/one_finenews.asp?IDNews=40
Jhonson, Marion dkk. 2000. Nursing Outcomes
Classification (NOC). St. Louise, Missouri : Mosby, Inc.
McCloskey, Joanne C. 1996. Nursing Intervention
Classification (NIC). St. Louise, Missouri : Mosby, Inc.
NANDA. Nursing Diagnoses: Definition and
Classification 2005-2006. Philadelphia : NANDA International.
Carpenito, Lynda
Juall. 1999. Diagnosa
Keperawatan aplikasi pada praktik klinis. Jakarta : EGC. hh 1002-1004
Aziz ,Alimul. 2009. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia aplikasi konsep dan proses
keperawatan.jakarta: salemba Medika. hh 86-94
Tidak ada komentar:
Posting Komentar